Nov 1, 2016 3:27 PM
Pelajaran demokrasi tingkat tinggi ditampilkan dua kandidat yang berkompetisi di pilpres 2014 lalu. Presiden Jokowi yang mendatangi Pak Prabowo untuk membicarakan persoalan nasional yang makin meningkat suhunya. Beberapa hal yang patut dibaca dari simbol yang ditampilkan keduanya ialah:
Pertama, pembelajran bahwa dalam alam demokrasi dan kompetisi menang dan kalah itu hal yang wajar, alamiah, dan soal waktu. Perseteruan sengit dan heboh usai dan ketika dinyatakan sebagai pemenang dan yang tidak menang kembali seperti sedia kala. Bagaimana mereka berdua bisa melakukan itu dengan saling kunjung, menghormat ketika datang dalam pelantikan. Luar biasa lho, pesaing mau datang ke pelantikan. Apalagi jika melihat kinerja anak buahnya yang terus menerus malah seperti merecoki.
Kedua, datang, sowan,silaturahmi jelas lebih utama baik secara agama, sosiologis, dan antropologis. Media, baik media massa seperti Pak Beye, atau demo seperti yang dilakukan Pak Amien Rais itu ada pihak ketiga, ada jarak, yang bisa membuat arti berbeda. Dengan datang, personal, bukan juga telpon lho, datang, tentu orang yang sedang mendidih membara bisa menjadi adem dan tenang. Diskusi bukan hanya berbicara untuk didengar tanpa mau mendengar.
Ketiga, pelajaran berharga bagi politikus dna politisi muda bahwa rivalitas itu sudah usai dan saatnya membangun. Kubu-kubuan hanya membuat beban bagi negara tanpa adanya nilai membangun bagi keberadaan berbangsa dan bernegara selain hanya memperbesar rasa saling curiga dan sikap sektarian yang tidak ada habis-habisnya.
Keempat, jiwa besar dan rendah hati dari presiden yang tidak mengedepankan sisi birokrasi legalitas. Lebih mudah memanggil Pak Prabowo, namun tentu jauh lebih heboh dan penafsiran liar bisa ke mana-mana. Pilihan yang tidak mudah dan itu terjadi juga.
Kelima, sikap terbuka Pak Prabowo yang menjawab apa yang selama ini ditampilkan Fadli Zon. Seolah Gerindra dan Prabowo itu selalu menjadi "pengganggu" pemerintahan. Menerima di tempat yang paling disukai tentu hal yang memperlihatkan sikap terbuka Prabowo demi bangsa dan negara bukan soal sakit hati dan kekuasaan saja.
Keenam, reaksi cukup signifikan diberikan oleh ketua DPR yang melarang elit parpol untuk tidak terlibat pada acara 4 November mendatang. Artinya bahwa dewan yang selama ini aktif, malah menyatakan mau turun selevel pimpinan saja ada dua telah dikonfirmasi sang ketua. Soal apakah efektif dan tidak tentu patut ditunggu, melengkapi permintaan dua ormas terbesar keagamaan NU dan Mummadiyah.
Ketujuh, lahir negarawan yang telah mengatasi sikap politikus kanak-kanak, merengek, mencela, dan malahjothakan,karena merasa dijadikan korban selama ini telah dirobohkan Pak Jokowi dan Pak Prabowo. Harapan bagi hidup berbangsa dan berengara yang lebih baik dan membahagiakan.
Kedelapan, Pak Try Sutrisno yang selalau hadir di dalam acara negara, Pak Habibie yang selalu memberikan dukungan pada pemerintahan, kini ditambah dengan sikap dua negarawan selevel presiden dan "rival" pilpres, bisa menginspirasi para presiden dan wapres yang masih saja berkutat dengan perasaan di masa lalu.
Sepakat bahwa cara tidak mengurangi makna, seperti yang disampaikan Pak Anies melalui demo, toh itu juga legal, dijamin perundang-undangan, dan tidak melanggar hukum, atau model Pak Beye melalui konpres, melalui medsos, ini soal cara, namun bisa juga berpengaruh pada hasil lho. Alangkah lebih bijak jika para pini sepuhitu mencari cara-cara bijak, penuh kekeluargaan, dan memberikan masukan secara langsung. Tentu orang menjadi lebih tenang menerima, mendengar, dan melihat. Apa bisa orang dipaksa dengan cara begitu? Itu soal motivasi di balik apa yang mau disampaikan. Nyatanya Pak Habibie bisa, dan kini Pak Prabowo juga bisa.
Pembelajaran bagi politikus muda agar tidak hanya mengedepankan sikap asal bukan...namun bagaimana negeri menjadi lebih baik dan lebih sejahtera itu bisa tercapai. Selama ini tingkah polah mereka cenderung bertahan dengan menyerang dengan dalih kritik, namun sering tidak berdasar dan berlebihan. Coba apa yang ditampilkan kedua sosok yang membuat seolah negeri ini terbelah dua kemarin? Jauh dari itu semua bukan? Negara ini tetap satu, beda pilihan dalam pemilu dan pilpres itu biasa.
Sumpah Pemuda '28 kemarin dihadirkan kembali. Alangkah maju dan besarnya bangsa ini jika sebagian besar pejabat dan mantan pejabat bangsa ini bahu membahu membangun bangsa bukan malah jegal menjegal.